SERDADU CAPUNG MENGKRITIK “Semau Gue” : PEMBANGUNAN BALI TANPA ARAH


(Denpasar, Bali)

Pembangunan bali saat ini menjadi sorotan berbagai pihak yang menginginkan wajah kemajuan seperti perspektif masing-masing. Banyak pemerhati pintar namun jarang yang betul-betul cerdas. Kaum intelektual cerdas adalah individu kritis yang memberi kritik pula solusi yang ditawarkan, bukan menjadi orang pintar yang gemar melempar protes namun miskin jalan keluar.

Sangat perlu memang kontrol publik terhadap pembangunan Bali. Kontrol bagi kebijakan yang bersentuhan dengan masyarakat Bali secara berimbang. Bukan men-generalisasi semua permasalahan menjadi sebuah kesimpulan “Pembangunan Bali tanpa arah”. Jangan menjadi serdadu capung, pintar dalam controlling namun hobby bermanuver. Capung-capung beterbangan juga tanpa arah, sering dibawah kendali macan kertas.

Salah satu contoh adalah pembangunan bidang pertanian di Bali. Menjadi diskusi hangat dengan beragam kritik tajam ketika alih fungsi lahan sebagai indikator menciutnya lahan sawah semakin meningkat. Bahkan sektor pariwisata mesti digadang-gadang sebagai biang kerok. Dampak modernisasi menimbulkan fenomena alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian dan musnahnya beberapa sistem subak di suatu daerah di Bali. Fenomena lain adalah mulai berkembangnya sistem pertanian ber-irigasi berkelanjutan berbasis sistem irigasi pompa air tanah.

Di dalam RTRWP Bali jelas diatur rencana kawasan peruntukan pertanian seluas 298.214 ha atau 52,9 persen dari luas Provinsi Bali. Kawasan tanaman pangan ditetapkan 76.337 ha atau 13,5 persen, kawasan hortikultura seluas 108.511 ha atau 19,3 persen, dan kawasan perkebunan sebanyak 113.366 ha atau 20,1 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat, sisa luas tanaman akhir Desember 2011 mencapai 39.022 hektar atau lebih kecil dibandingkan sisa luas tanaman 2010 yakni mencapai 47.394 hektar. Hal ini menunjukkan ada penurunan luas sisa tanaman padi sebesar 8.372 hektar pada akhir 2011 yang menyebabkan terjadinya penurunan luas panen padi. Produksi padi di Bali 2012 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 7.894 ton gkg (gabah kering giling) atau turun 0,92 persen dibandingkan 2011.

Dilihat pada akar permasalahannya, alih fungsi lahan adalah hak dan motivasi pemilik lahan itu sendiri. Motivasi untuk beralih pada sektor non pertanian mungkin akibat hasil produksi kurang memiliki daya saing dalam bisnis dibandingkan sektor-sektor lain. Profit yang dihasilkan kecil akibat ongkos produksi, pasar dan tingginya pajak tanah dibandingkan usaha-usaha lain seperti penyewaan rumah kost, ruko-ruko dan usaha lain yang menimbulkan beralihnya fungsi lahan pertanian tersebut.

Pemuda-pemuda Bali menjadi kurang berminat untuk bekerja sebagai petani, dan usaha-usaha baru tersebut menuai hasil dimana tingkat pertumbuhan ekonomi Bali meningkat. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2012, persentase penduduk miskin di Bali sedikit berkurang sebanyak 0,02 persen dari 4,20 persen pada Maret 2011 menjadi 4,18 persen. Pertumbuhan ekonomi di Bali pada triwulan II 2012 sebesar 6,76 persen. Angka tersebut melampaui angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 6,4 persen.

Mustahil bahwa petani menjadi kaya karena hasil produksi beras, kecuali harga beras setara dengan dolar yang artinya tidak terjangkau masyarakat konsumen dan ketahanan pangan tidak terpenuhi. Dalam PP No 68 tahun 2002, tentang Ketahanan Pangan, dinyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Tempo Interaktif 2004:1).

Untuk mengantisipasi ancaman bagi ketahanan pangan khususnya mengamankan stok beras di Bali hingga enam bulan ke depan akibat produksi lokal tidak seimbang, Bulog Divisi Regional Bali mengimpor 10 ribu ton beras. Total stok beras saat ini mencapai 19.900 ton, di mana 10 ribu ton diimpor dari India dan Vietnam, sedangkan 5 ribu ton didatangkan dari Jatim.

Kesejahteraan petani yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama menurut (Bayu Krisnamurthi 2008:1) adalah (a) Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor); (b) Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi; (c) Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan, (d) Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik; (e) Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai; (f) Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah; dan (g) Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.

Pada poin (g) diatas yaitu pada tingkat petani sendiri, masalah tersebut diantaranya: rendahnya pengetahuan/wawasan, rendahnya tingkat keterampilan, kurangnya motivasi, tidak memiliki kemampuan pengelolaan usaha tani, kurangnya dukungan atas modal dan sarana produksi usahatani, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, jarang mendapatkan bimbingan dan konseling berupa penyuluhan dan tidak adanya wahana/tempat petani untuk belajar untuk meningkatkan kemampuan yang dibutuhkannya.

Sebagian besar petani kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilaku karena perubahan yang diharapkan berbenturan dengan motivasi yang lain. Petani kurang dimotivasi berusaha untuk merubah cara-cara tradisional kearah modernisasi dan berorientasi pasar.

Pemerintah Provinsi Bali menelurkan terobosan-terobosan baru dan mengarahkan programnya guna mengatasi masalah-masalah petani Bali, memotivasi meningkatnya gairah sektor pertanian yang semakin terpuruk. Salah satu programnya adalah selain produksi beras terpenuhi, juga dihasilkan produk-produk lokal berbasis organik kualitas impor melalui teknologi tepat guna. Kesemuanya berdasar parsipatori petani dan dikemas dalam Sistem Manajemen Pertanian Terintegrasi (SIMANTRI). Jelas, Inilah arah pembangunan pertanian di Bali saat ini.

SIMANTRI (Sistem Manajemen Pertanian Terintegrasi) adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sebagai suatu usaha pertanian dengan orientasi zero waste sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan Sumber daya Lokal yang ada sehingga mampu manghasilkan food, feed, fertilizer dan fuel. Dengan demikian pendapatan petani meningkat dan program Bali Organik dapat terwujud. Pengembangan Simantri di Bali sampai 2011 direncanakan sebanyak 150 1okasi dengan rincian tahun 2009 (10 lokasi), 2010 (40 lokasi) dan 2011 (100 1okasi). Hingga tahun 2012 ini, Pemprov Bali telah berhasil membentuk 300 unit Simantri yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota.

Pengertian organik salah satunya adalah Sistem Pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia buatan manusia (man made chemicals). Untuk memperjelas program menuju Bali organik, pemerintah harus membekali dengan renstra dan roadmap yang jelas.

Terlepas dari standarisasi proses dan pengakuan dunia dalam produksi bahan organik, pemerintah wajib membekalinya dengan system penjaminan mutu dan keamanan pangan serta supply chain yang kuat sehingga produk sampai pada tujuan pasar on the right time, on the right quality, on the right quantity, and on the right value (price). Sehingga menjadi produk impor yang dapat bersaing dalam pasar global guna meningkatkan perekonomian para petani Bali (Prof. Supartha Utama).

Pemerintah Provinsi Bali mengarahkan berbagai programnya untuk menekan angka kemiskinan melalui alokasi anggaran untuk belanja publik dalam APBD Provinsi Bali tahun 2011. APBD meningkat menjadi Rp.2,98 trilyun lebih, 77 persennya atau sebesar Rp. 2,3 trilyun untuk Belanja Publik dan hanya 23 persen atau Rp. 692,35 milyar untuk Belanja Aparatur. Dalam sektor pertanian, untuk membantu petani Bali dalam memperoleh pupuk yang terjangkau, pemerintah menambah subsidi harga pupuk sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2012.

Selain hal diatas, untuk mendukung bangkitnya sektor pertanian Bali, pemerintah merancang perda yang mengatur beberapa hal seperti penguatan organisasi subak, pengaturan penggunaan air, dan lainnya dalam Perda Subak. Subak yang tersebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali pada tahun 2003 tercatat 1.600 buah berkurang 42 buah menjadi 1.558 buah, menurun lagi 13 buah menjadi 1.545 buah pada tahun 2008 dan pada 2008 tercatat 1.546 subak (Prof. I Wayan Windia, bali-bisnis.com). Pemerintah Provinsi Bali juga tengah merancang perda perlindungan lahan yang mengatur mekanisme kontrol dan pengawasan atas alih fungsi lahan pertanian sebagai upaya lain mencegah alih fungsi lahan pertanian yang semakin tidak terkontrol dan merupakan implementasi dari undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan.

Penyebab lain alih fungsi lahan selain dampak industri pariwisata yang menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru bagi masyarakat Bali, adalah jumlah penduduk di Bali terus mengalami peningkatan akibat migrasi meningkat dan ditambah dengan  datangnya para pekerja dari luar daerah Bali. Permintaan pembangunan permukiman baru meningkat dan menambah alih fungsi lahan pertanian di Bali.

Berapapun harga properti di Bali pasti laku terjual dan didominasi warga pendatang. Artinya mereka lebih berhasil dari penduduk lokal. Menurut hasil riset dan berdasarkan observasi lapangan/pasar secara umum yang dipantau oleh Knight Frank/Elite Havens, tahun 2011 mencatat rekor tertinggi untuk kenaikan harga kavling tanah di berbagai lokasi strategis Bali dengan peningkatan rata-rata mencapai sebesar 34 persen dibandingkan dengan 8-16 persen kenaikan rata-rata per tahun yang dialami selama 10 tahun terakhir.

Faktanya tidak mudah menghambat migrasi masuk ke Bali karena perpindahan penduduk adalah hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU No 39 tahun 1999, pasal 27 yang intinya menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia bebas untuk memilih tempat tinggal dalam wilayah Negara Republik Indonesia serta berhak untuk meninggalkan serta masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan undang-undang (Bahar, 2003).

Namun Desa pekraman sebagai penjaga gerbang Pulau Bali mesti diberikan kepercayaan menekan laju migrasi masuk ke Bali. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi Negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam dua tahun terakhir jumlah penduduk di Bali meningkat cukup fantastis, yakni sebanyak 561 ribu jiwa. Pada 2008 jumlah penduduk Bali sekitar 3.300.000 jiwa dan hasil sensus penduduk 2010 telah bertambah mencapai 3.851.000 jiwa (Prof. I Made Titib, Antara).

Pariwisata sebagai salah satu andalan Pulau Bali menyebabkan menjamurnya hotel, restaurant dan vila-vila di berbagai daerah di Bali yang otomatis mendongkrak harga jual tanah di lokasi tersebut. Petani juga harus membayar pajak bumi dan bangunan dengan nilai yang sangat tinggi mencekik leher, setara dengan nilai pajak yang dibayarkan hotel, dan vila-vila di sekitarnya. Para petani terjepit oleh kenaikan NJOP. Hal itu karena dasar pengenaan pajak adalah nilai jual tanah di lokasi tersebut yang terus mengalami penyesuaian setiap tahun. Pemprov Bali berupaya mencari formulasi untuk menekan tarif pajak kepada tanah petani. DPRD Bali harus segera mengeluarkan regulasi baru tentang penerapan pajak kepada petani. Kedua institusi ini harus bersinergi untuk kepentingan mayarakat Bali.

Investasi sektor pariwisata dan pertanian harus dibuat berimbang dan harmonis, hal tersebut menuntut adanya kemauan kuat investor yang menginvestasikan modalnya di sektor pariwisata bersedia menginvestasikan sejumlah tertentu dari keuntungan yang diperolehnya untuk mengembangkan sektor pertanian. Bagaimanapun juga, pariwisata adalah berkah bagi masyarakat Bali yang daerahnya miskin sumber daya alam, sedangkan pertanian adalah aset dalam segi budaya dan ekonomi bagi pariwisata Bali.

Para ahli berpendapat bahwa pariwisata sebagai industri jasa tunduk pada hukum life cycle of tourism yakni ditemukan (discovery), berkembang (development) dan akhirnya menurun (decline) karena berbagai hal sehingga tidak menarik lagi dikunjungi wisatawan. Pendapatan besar dalam masa jayanya industri pariwisata harus digunakan semaksimal mungkin membangkitkan dan membangun pertanian Bali menjadi maju dan modern, untuk mengantisipasi jika kelak terjadi kemunduran pariwisata. (pnd)

***

2 thoughts on “SERDADU CAPUNG MENGKRITIK “Semau Gue” : PEMBANGUNAN BALI TANPA ARAH

  1. Pingback: Dahlan Beri Motivasi Mahasiswa via HP | inspirasi.me

  2. adii

    Kami harap bapk2 yg diatas sana tolong lebih perhatikn jangka panjjang bali ke depan jangn cuma pikirkan kantong sesaat,ingat roda kehidupan trus berputar,,saat ini kita jaya bisa se enaknya dan kedepan belum tentu dg generasi kita bisa,,,jadi tolong pikirkan lah bali kedepanya,,sudah banyak contoh buka mata buwat lah yg terbaik buwatlah tanah bali ini untuk tetep anak cucu kita bisa nikamti,,,,

    Reply

Leave a comment