Profesionalisasi Aparatur Ibarat Menegakkan Benang Basah


profesionalitas-pnsKata “professional” itu sering melekat pada bidang pekerjaan swasta. Kalau ingin dibilang profesional sebaiknya magang dulu pada perusahaan swasta. Kebiasaan hantam kromo dalam mempekerjakan bawahan bukalah profesionalisme yang sehat. Inovasi memang penting namun pola kerja yang sehat lebih penting karena akan menjamin kontinuitas output yang berkualitas.

Istilah profesionalisme berasal dari kata professio, dalam Bahasa Inggris professio memiliki arti sebagai berikut: A vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving mental rather than manual work, as teaching, engineering, writing, etc. (Webster dictionary,1960:1163) (suatu pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan pelatihan yang mendalam baik di bidang seni atau ilmu pengetahuan dan biasanya lebih mengutamakan kemampuan mental daripada kemampuan fisik, seperti mengajar, ilmu mesin, penulisan, dll).

Dari kata profesional tersebut melahirkan arti profesional quality, status, etc yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang orang yang memilki kemampuan tertentu pula (Pamudji,1985).

Demikian juga dengan apa yang dikatakan oleh Korten & Alfonso (1981) dalam Tjokrowinoto (1996:178) yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement), merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi”.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu jenis Kepegawaian Negeri di samping anggota TNI dan Anggota POLRI (UU No 43 Th 1999). Pengertian Pegawai Negeri adalah warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 1 UU 43/1999).

Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi. Dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan, impersonalitas hubungan, pengaturan perilaku, dan kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Weber (1864-1920), bahwa Birokrasi adalah organisasi dimana kekuasaan sepenuhnya berada ditangan para pejabat resmi yang memenuhi persyaratan keahlian (technical skills).

Sebagai suatu organisasi modern, birokrasi pada dasarnya memiliki lima elemen dasar sebagai berikut: satu, the strategic-apex, atau pimpinan puncak yang bertanggungjawab penuh atas berjalannya roda organisasi: dua, the middle-line, pimpinan pelaksana yang bertugas menjembatani pimpinan puncak dengan bawahan: tiga, the operating-core, bawahan yang bertugas melaksanakan pekerjaan pokok yang berkaitan dengan pelayanan dan produk organisasi: empat, the technostructure, atau kelompok ahli seperti analis, yang bertanggungjawab bagi efektifnya bentuk-bentuk tertentu standardisasi dalam organisasi: lima, the supportstaff, atau staf pendukung yang ada pada unit, membantu menyediakan layanan tidak langsung bagi organisasi (Mintzberg,1983:11).

Dalam perspektif administrasi publik Indonesia dikenal berbagai macam patologi yang membuat birokrat atau aparat tidak professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara lain adalah rendahnya motivasi untuk melakukan perubahan dan berinovasi. Patologi ini terjadi sebagai konsekuensi dari keseluruhan perilaku dan gaya manajerial yang sering digunakan oleh manajemen puncak (the strategic-apex) pada hirarki organisasi publik. Gaya manajerial dan leadership yang bersifat feodalistik dan paternalistik berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi (Siagian,1994:44) sehingga jajaran birokrasi tingkat menengah dan bawah takut untuk melakukan dan mengambil langkah langkah baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik. Rendahnya keinginan melakukan perubahan dan inovasi dalam hal ini juga disebabkan oleh gaya manajerial yang tidak kondusif bagi terciptanya birokrasi yang responsive dan inovatif.

Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh aparatur memungkinkan terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai.

Kemampuan untuk beradaptasi menurut pendapat tersebut merupakan jawaban terhadap dinamika global yang tumbuh dan berkembang secara cepat. Pesatnya kemajuan teknologi merupakan salah satu diantara dinamika global yang membuat birokrasi harus segera beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan zaman dan terbelakang dalam hal kemampuan. Kemampuan beradaptasi merupakan jawaban bagi dinamika global yang tidak pasti sehingga dalam menjalankan tugasnya, aparat tidak lagi terikat secara kaku kepada petunjuk-dan teknis-pelaksanaan tapi terikat kepada apa yang ingin dicapai oleh organisasi (organizationmission). Fleksibilitas aparat dalam menjalankan tugas dan berorientasi kepada hasil dan visi yang ingin dicapai oleh organisasi merupakan langkah positif untuk meninggalkan cara kerja yang kaku dan reaktif.

Kantor Menpan tahun 2002 menemukan dan mengidentifikasi adanya Pola Pikir Negatif (Pola Pikir Tetap) PNS yang tercermin dalam bentuk 24 hambatan atau permasalahan perilaku budaya kerja paratur pemerintahan, yaitu pola pikir Negatif (Tetap) seorang PNS yaitu :

1. Komitmen dan konsistensi terhadap visi dan misi organisasi masih rendah.

2. Sering terjadi penyimpangan dan kesalahan dalam kebijakan publik yang berdampak luas kepada masyarakat.

3. Pelaksanaan kebijakan jauh berbeda dari yang diharapkan.

4. Terjadi arogansi pejabat dan penyalahgunaan kekuasaan.

5. Pelaksanaan wewenang dan tangung jawab aparatur saat ini belum seimbang.

6. Dalam praktek di lapangan sulit dibedakan antara ikhlas dan tidak ikhlas, jujur dan tidak jujur.

7. Pejabat yang KKN akan menyebabkan KKN  meluas pada pegawai, dunia usaha dan masyarakat.

8. Gaji pegawai yang rendah/kecil dibandingkan dengan harga barang/jasa lainnya.

9. Banyak aparatur yang integritas, loyalitas dan profesionalnya rendah.

10. Belum adanya sistem merit yang jelas untuk mengukur kinerja pegawai dan tindak lanjut hasil penilaiannya.

11. Kreativitas karyawan kurang mendapat perhatian atasan.

12. Kepekaan terhadap keluhan masyarakat dinilai masih rendah.

13. Sikap yang berorientasi vertikal menyebabkan hilangnya kreativitas, rasa takut berimprovisasi.

14. Budaya suap bukan hal yang rahasia, sehingga dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku pimpinan dalam bekerja.

15. Ada kecenderungan para pemimpin tidak mau mengakui kesalahan di depan bawahan.

16. Masing-masing bekerja sesuai dengan uraian tugas yang ada dan belum optimal untuk bekerjasa sama dengan unit lain.

17. Sifat individualisme lebih menonjol dibandingkan kebersamaan.

18. Tidak ada sanksi yang jelas dan tegas jika pegawai melanggar aturan.

19. Budaya KKN yang menjiwai sebagian aparat.

20. Tingkat kesejahteraan yang kurang memadai.

21. Pengaruh budaya prestise yang lebih menonjol, sehingga aspek rasionalitas sering dikesampingkan.

22. Sistem seleksi (rekruitmen) yang masih kurang transparan.

23. Tidak berani tegas, karena khawatir mendapat reaksi yang negatif.

23. Banyak aparatur belum memahami makna keadilan dan keterbukaan.

24. Mengubah pola pikir (Juni Pranoto, 2007) berarti berusaha menggeser pola pikir negatif (tetap) tersebut, menjadi pola pikir positif (berkembang).

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditegaskan bahwa untuk kelancaran penyelengggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada penyempurnaan aparatur negara khususnya Pegawai Negeri Sipil.

Dari uraian panjang lebar diatas, profesionalisme pada tingkat puncak hierarki wajib dipenuhi guna membentuk system kerja yang professional, minimal seorang pimpinan mengetahui baik secara teknis disamping secara manajerial seluk beluk pekerjaan yang diemban oleh lembaganya. Seyogyanya seorang leader dibentuk dari tingkat bawah dan linier dalam bidangnya, bukan asal comot pimpinan yang sering terjadi dalam birokrasi akibat peraturan mutasi PNS yhang masih bias. Dengan demikian seorang pimpinan sebuah lembaga mampu menciptakan pola kerja yang sesungguhnya, tidak hantam kromo dan mengetahui efektifitas pola kerja bawahan hingga terpelihara situasi kerja yang ideal, nyaman, masuk akal dan manusiawi.

Leave a comment